Bebatuan di Pulau Kunti by John |
First post in 2022. And this story is gonna be the continuation of the previous Ciletuh’s story. Gue rasa jaraknya kejauhan, ya, dari cerita sebelumnya, hehe. Well, honestly I am quite busy these days, so I just haven’t had time to write yet. It’s kinda like a money debt lol. And now I will pay the debt.
So, di hari
kedua ini, akan lebih banyak tempat wisata yang kita kunjungi dibandingkan di
hari pertama kemarin, karena kita berkegiatan dari pagi hari.
Dimulai dari gue, Fifah, dan Nia
yang habis sahur dan sholat subuh gak
langsung tidur lagi, melainkan malah main game
online dulu di HP, meskipun lama-lama akhirnya ngantuk juga. Dan akhirnya
kita juga yang bangun duluan sekitar jam 07.30 pagi, dan kali ini Joan juga
sudah bangun. Setelah kita berempat selesai mandi, anak-anak yang cowok juga
bangun dan langsung mandi.
Hari kedua ini kita bersiap-siap hunting mulai sekitar jam 08.30 karena
segala “kengaretan” yang kita buat sendiri. Tour
guide kita, Kang Asep, juga sudah datang di penginapan menggunakan motornya.
Setelah semuanya siap, berangkatlah kita ke lokasi pertama, dengan Kang Asep
yang ikut mobil kita, dan motornya ditaruh di home stay.
DISCLAIMER: PLEASE DO NOT TAKE OUR PICTURES UNLESS YOU GIVE US THE CREDIT AND ASKING US FOR THE PERMISSION FIRST. THANK YOU.
MUSEUM KONSERVASI DAN ARBORETUM
CILETUH
Museum Konservasi by Maulana Yusuf |
Arboretum Ciletuh - Dokumentasi Pribadi |
Museum dan Arboretum Ciletuh ini
berlokasi di Jalan Taman Jaya 4, Desa Tamanjaya, Ciemas, Sukabum. Menurut Kang
Asep ketika itu, museum dan arboretum ini menampilkan gambaran Geopark Ciletuh
yang terdiri dari geological diversity,
biological diversity, dan culture diversity, yang tujuannya adalah untuk
konservasi, edukasi, serta kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
Papan Informasi Keberagaman Geologi Geopark Ciletuh by Cita |
Di dalam museum ini banyak sekali
ditampilkan keanekaragaman geologi maupun hayati, lho. Terdapat banyak sekali jenis-jenis batu, stalagtit, stalagmit
dengan umur yang sudah amat sangat tua, dan salah satu koleksinya adalah batu
Peridotit dengan jenis Batuan Beku Ultra Basa dengan usia lebih dari 65 juta
tahun yang lalu. Wowww.
Koleksi Bebatuan Museum Konservasi by Ridho |
Batu Peridotit dengan Usia >65 juta tahun by Ridho |
Selain bebatuan, museum ini juga menampilkan keaneka ragaman hayati berupa replika hewan-hewan seperti owa jawa, elang jawa, monyet, kupu-kupu, dan lainnya.
Replika hewan-hewan khas Ciletuh di Museum Konservasi by Maulana |
Replika Kupu-Kupu di Museum Konservasi by Ridho |
Lalu untuk Culture diversity, museum ini menampilkan beberapa kebudayaan
tradisional seperti senjata tradisional, lalu ada replika berupa sebuah dapur
khas jaman dulu yang kompornya masih menggunakan tungku, serta ada alat musik
tradisional juga. Pokonya, di museum ini kita bisa mendapatkan gambaran singkat
mengenai Ciletuh.
Replika Dapur Tradisional Khas Sunda di Museum Konservasi by Ridho |
Dalam kesempatan ini, kita juga melakukan sesi wawancara dengan ketua PAPSI, Endang Sutisna. Beliau dengan sangat baik dan terbuka menjelaskan kepada kita tujuan PAPSI untuk Ciletuh, kontribusi PAPSI, kebudayaan Ciletuh, dan lainnya. It was an honour for us at that time.
Wawancara Tim dengan Ketua PAPSI, Kang Entis/Endang Sutisna by Cita |
Beliau menjelaskan, kita bisa
berkontribusi membantu Ciletuh melalui PAPSI dengan ikut adopsi pohon dengan
biaya satu pohonnya hanya 20 ribu (tahun 2018). Tanpa berpikir panjang, kitapun
melakukan adopsi pohon. Dan menurut Kang Entis (nama panggilan Kang Endang
Sutisna), setelah satu tahun nanti, pohon tersebut akan diberi nama sesuai nama
adopternya. And now, I just wondering,
setelah setelah hampir 4 tahun berlalu, sudah sebesar apa pohon yang kita tanam
waktu itu, ya? Hehehe.
Proses Penanaman Adopsi Pohon di Area Museum Konservasi Bersama Ketua PAPSI, Kang Entis by John |
KAWASAN HUTAN KONSERVASI CIPEUCANG
(THE CIPEUCANG CONSERVATION FOREST)
Papan Infomasi Kawasan Hutan Konservasi Cipeucang by Maulana |
Setelah selesai hunting kita di Museum Konservasi dan Arboretum, lanjut lagi kita ke destinasi selanjutnya yaitu ke Kawasan Hutan Konservasi Cipeucang. Lokasinya adalah di Desa Mekarsari, Kecamatan Ciemas, Sukabumi. Kang Asep membawa kita ke sini karena di dalam hutan Cipeucang ini ditemukan Bunga langka khas Indonesia, Rafflesia Patma, yang sayangnya ketika kita kunjungi lokasinya, bunga tersebut masih berupa tunas yang belum mekar. Huhuhu sayang sekali.
Tunas Rafflesia Patma yang Belum Mekar by Ridho |
Lokasi tunas Rafflesia yang kita temui tersebut berada di pinggir jalan
raya, lalu kita masuk sedikit ke hutan Cipeucang yang jalannya berupa sedikit
turunan –yang lumayan membuat cewek-cewek susah untuk turun, hehe-. Nah, tidak jauh dari jalur setapak
tersebut, tunas Rafflesia menempel di akar pohon yang menjadi inangnya.
Jalan Kaki Menuju Lokasi Rafflesia Patma by Cita |
Masuk ke dalam Kawasan Hutan Cipeucang by Cita |
Foto-foto dan Rehat Sebentar di depan Kawasan Hutan Cipeucang by John |
Karena pada hari kita kunjungan, bunganya
belum mekar, maka, gambar bunga mekarnya gue insert di bawah dari website Sukabumi Update, ya.
Bunga Rafflesia Pama yang Telah Mekar di Kawasan Hutan Cipeucang by Sukabumi Update |
Kang Asep menceritakan pada kita,
bahwa sebetulnya ditemukan beberapa Rafflesia lain di kawasan hutan Cipeucang
ini, tetapi karena satu dan lain kendala, tim peneliti belum bisa memastikan
semuanya. Mari kita tunggu update-nya dari PAPSI, yaaa.
PULAU KUNTI
Papan Nama Pulau Kunti by Maulana |
Destinasi wisata kita selanjutnya
adalah Pulau Kunti. Lokasinya di Desa
Mandrajaya, Kecamatan Ciemas, Sukabumi. Eitsss, jangan takut dulu. Meskipun
namanya Kunti, tapi tidak ada hubungannya dengan hantu rambut panjang itu, ya. Tau ga, sih, kenapa diberi nama Pulau
Kunti? Menurut transmetro.id, pulau tersebut dinamakan Kunti karena adanya tawa
kuntilanak. Hihihi. Tapi, suara tawa
itu tidak setiap saat terdengar, melainkan hanya saat badai atau ketinggian air
pasang gelombang di perairan mencapai 4 hingga 5 meter. Kemudian, gelombang
yang menghantam deretan batuan lava di Pulau Kunti menghasilkan gema mirip
kuntilanak tertawa. Jadi, suara ‘kuntilanak’ itu terbentuk secara alamiah.
Begitulah asal-usul nama Pulau Kunti.
Pasir Putih Pulau Kunti by Ridho |
Bebatuan Pulau Kunti by Ridho |
Nah, sayangnya, pada saat perjalanan
ke Pulau Kunti, di mobil, gue masuk angin, alias mabok darat. Huhuhu. Gue mual-mual, dan pucat.
Terlebih ketika itu sedang puasa Ramadhan. Akhirnya, mau tidak mau, terpaksa
puasa hari itu gue batalkan karena gue bener-bener
gak kuat. Huhuhu. Sesampainya di kawasan parkir Pulau Kunti, gue nyari warung
untuk beli air mineral dan makanan kecil untuk membatalkan puasa. Karena hal
ini, gue jadi gabisa ikut masuk ke Pulau Kunti. Sungguh sangat amat
disayangkan. Lucunya, Afifah, Nia, dan Joan juga ikut-ikutan tidak ikut masuk
ke Pulau Kunti, padahal mereka bertiga sehat. Sungguh sangat disesalkan.
Akhirnya, di dalam mobil gue minum air, minum tolak angin, dan makan cemilan
yang baru dibeli. Joan juga sempat ngerokin
gue. Huhuhu. Thank you, Joan. Setelah
istirahat itu, Alhamdulillah gue membaik.
Dari cerita cowo-cowo yang masuk ke
Pulau Kunti, mereka bilang bahwa Pulau Kunti indah banget. Pasirnya putih, dan
airnya biru. Mereka juga sempat singgah di goa kecil yang ada di pinggir pulau.
Goa tersebut bernama Goa Anti Jomblo. Ada mitos juga, lho di Goa itu yang sudah mengalir manjadi cerita turun temurun. Menurut
transmetro.id, konon katanya, Goa ini bisa mempercepat dalam mendapatkan
tambatan hati. Ahahaha.
Goa Anti Jomblo Pulau Kunti by Ridho |
Pemandangan dari dalam Goa by Ridho |
Oiya, di sana mereka juga menyewa
perahu kecil untuk berkelilling pulau. Sayangnya, gue lupa berapa biaya sewanya
ketika itu. Intinya, gue sangat amat menyesal karena gabisa ikut ke Pulau
Kunti. Huhuhu.
Perahu-Perahu Kecil di Pulau Kunti Untuk Disewakan by Ridho |
Pemandangan Pulau Knti, Ciletuh by Ridho |
PANTAI PALANGPANG
Dari Pulau Kunti, kita semua lanjut
ke Pantai Palangpang. Nah, seinget
gue, Pantai Palangpang ini satu jalur dengan arah jalan balik dari Pulau Kunti.
Jadinya, kita sekalian mampir ketika itu. Namun kita tidak turun untuk
menikmati keindahan Pantai Palangpang, karena pada saat itu, Pantai Palangpang
sedang terlihat kurang bersih. Pantainya kotor, dan lumayan banyak sampah
berserakan. Terlebih ketika itu hawanya sedang panas sekali. Jadi, kita hanya
berhenti, turun untuk ambil foto tulisan “GEOPARK CILETUH” sebentar, dan lanjut
jalan lagi ke destinasi wisata selanjutnya.
Tulisan "Geopark Ciletuh" yang Menjadi Ikon di Pantai Palangpang by Ridho |
Oiya, yang gue baca-baca dari internet,
Pemdes Ciwaru mengadakan kegiatan bersih-bersih sampah di Pantai Palangpang.
Semoga aja, sekarang Pantai Palangpang sudah berubah menjadi lebih indah dan
lebih bersih, ya. Ini dia link beritanya (Dikotori Sampah, Pemdes Ciwaru Sukabumi Bakal Gelar Bersih-Bersih Pantai Palangpang)
CURUG CIMARINJUNG
Nahhh, ini
dia nih yang gue tunggu-tunggu dari hari pertama kita di Ciletuh. Curug!!!
Siapa, sih, yang gak
suka berwisata ke Curug? Apalagi Curug yang air terjunnya deras, pemandangannya
indah. Cuci mata banget ga sih?
So, Curug
pertama yang kita datangi adalah Curug Cimarinjung. Curug Cimarinjung berlokasi
di Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, dan jaraknya tidak jauh
dari Pantai Palangpang. Curug Cimarinjung memiliki ketinggian air terjun
sekitar 50 meter dengan curahan airnya yang sangat deras. Saat kita sudah mulai
masuk ke kawasan Kecamatan Ciemas yang dikelilingi pesawahan, Curug Cimarinjung
sudah mulai terlihat dari jauh.
Curug Cimarinjung Dilihat dari Jauh by Cita |
Akses jalan menuju Curug Cimarinjung
ketika itu cukup menantang, ya. Yang menggunakan mobil, harus banget pakai seat belt-nya, karena kondisi jalan yang
masih belum mulus ini bisa bikin kalian terlempar-lempar ke sisi-sisi di dalam
mobil. Namun, hal ini tidaklah seberapa dengan “bayaran” keindahan yang
disajikan Curug Cimarinjung.
Kita semua turun di parkiran Curug
Cimarinjung. Dari parkiran, kita masih harus berjalan kaki menyusuri jalan
kurang lebih 100-150 meter hingga sampai di depan Curug Cimarinjung. Sepanjang
jalan menuju Curug tersebut, kita juga dimanjakan dengan aliran air yang gue gak tau aliran air dari mana. Di situ,
kita bisa rehat sejenak untuk duduk dan membasahi kaki kita dengan air mengalir
tersebut. Wahhh seger banget. Selain itu juga ada warung kecil untuk yang mau makan
mie rebus, ataupun ngeteh dan ngopi. Dan taraaa,
sampailah kita di depan Curug Cimarinjung.
Gapura Masuk ke Curug Cimarinjung by Cita |
Jalan Setapak Menuju Curug Cimarinjung dengan Aliran Air di Sisi Jalan by Ridho |
Curug Cimarinjung dari Dekat by Cita |
Biasa. Karena gue anak yang lumayan
norak, dan ga biasa melihat keindahan
alam, I was so amazed with the Curug
Cimarinjung at that time. Air terjunnya mengalir sangat deras, dengan
dikelilingi tebing-tebing batuan alami yang ditumbuhi dengan tumbuhan hijau,
serta pohon-pohon kecil yang mengelilingi. Di dasar Curug juga terdapat dua
bongkah batu yang sangat besar yang mengapit aliran air terjun Curug
Cimarinjung. Ditambah dengan suara air terjun yang kencang namun menenangkan. Gue
sempat “manjat” tebingnya untuk ambil gambar. Hehehe. Gak begitu seram,
kok, yang penting harus hati-hati
supaya tidak terpeleset.
Curug Cimarinjung Dikelilingi Tebing-Tebing Tinggi by Cita |
Dua Bongkah Batu besar di depan Curug Cimarinjung by John |
Potret Curug Cimarinjung dari bawah by John |
Okay, gue rasa udah terlalu panjang ya
tulisan kali ini. Gue kira cerita Ciletuh ini bisa gue habiskan hanya dengan 3 part aja, ternyata belum cukup, guys. Hehehe. Untuk menghindari
kebosanan membaca, gue bakal terusin lagi ceritanya sampai di part 4. Please wait for the next story of us in Ciletuh, ya.
Jangan lupa baca part 1-nya di sini, dan part 2-nya di sini.
Thank you so much buat yang sudah baca. Sehat selalu, bahagia selalu. Cheers^^
Ditunggu part selanjutnyaa cita..
ReplyDeletePasti masamasa ini yang dikangenin yaa.. 😢
Salah satu tokoh dalem cerita nih kwkwk. Ditunggu part 4 yaaa. Awas aja gak bacaaa wkwk
Delete