12/13/2021

Book Talk - Filosofi Teras by Henry Manampiring

  

Dokumentasi Pribadi

Judul: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Buku Kompas
Tahun terbit: 2019
Cetakan ke: Lima belas, Juni 2020
Bahasa: Indonesia
Tebal: 344 hlm; 19cm
ISBN: 978-602-412-518-9
ISBN DIGITAL: 978-602-412-519-6 (PDF)

Filosofi Teras. Apa, sih, yang terlintas di pikiran kalian mendengar kata Filosofi Teras? Kalau gue, jujur, bingung. Teras? Halaman depan rumah? Ada filosofinya? Gue mikir dalam hati apa makna yang bisa diambil dari sebuah halaman depan rumah. Apakah tempat keluarga berkumpul sehingga teras jadi penuh cerita, ataukah karena teras  ada di bagain paling depan rumah, sehingga menjadi batas antara bagian luar dan dalam? Semuanya gak masuk akal. Hahaha. Sebelum membaca buku ini, yang gue pahami hanyalah bahwa buku ini membahas Filsafat Yunani-Romawi kuno untuk mental tangguh masa kini. Itupun gue tahu karena ada di cover bukunya. Hehehe. Gue belum pernah sama sekali baca buku tentang filsafat, kecuali Filsafat Ilmu Komunikasi yang jadi salah satu mata kuliah di kampus. Nah, dari sini gue mulai tertarik. Para book-ish juga merekomendasikan buku ini yang katanya sangat bagus untuk dibaca. Karena gue butuh asupan untuk membangun mental menjadi lebih tangguh, maka akhirnya gue beli buku Filosofi Teras ini.


Sekarang kita bahas makna dari Filosofi Teras. Kenapa Teras? Dahulu, seorang pedagang kaya bernama Zeno harus mengalami bencana kapal karam ketika ia hendak mengantar dagangannya ke para pembeli. Sejak bencana tersebut, ia tidak punya apa-apa lagi, semua harta bendanya hilang, dan harus terdampar di Athena. Ketika di Athena,  ia pergi  ke  toko  buku  dan menemukan buku filsafat. Singkat cerita akhirnya Zeno mempelajari filsafat aliran Cynic dengan Crates. Kemudian, Zenopun mulai mengajari filosofiinya sendiri. Ia biasanya mengajar di sebuah teras berpilar yang disebut Stoa. Semacam alun-alun Yunani kuno di kota Athena. Dari situlah, kata teras dipakai oleh penulis agar lebih mudah diterima oleh masyarakat awam yang susah menyebutkan Stoisisme. Dan  akhirnya, gue bisa tidur nyenyak setelah mengetahui makna dari Filosofi Teras ini.


Dokumentasi Pribadi


Buat gue yang masih awam dengan filsafat, buku ini lumayan berat namun mudah dimengerti. Selain itu, gue pribadi harus mengulang dua kali membaca buku ini agar pesan yang disampaikan oleh penulis benar-benar masuk ke otak dan pikiran gue. Karena kalau boleh jujur, Stoisisme ini sangat amat susah dipraktekkan buat gue yang orangnya memang mudah cemas dan panik akan suatu hal yang gue pikir akan mengancam kebahagiaan gue.


Pelajaran pertama dari Filosofi Teras ini adalah bahwa kita harus hidup selaras dengan alam. Alam apa? Mbah Dukun? Bukan, dong. Jadi maksudnya adalah bahwa kita harus sebaik-baiknya menggunakan nalar, akal sehat, dan rasio, karena itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Contoh mudah dalam kehidupan sehari-harinya adalah kalau kalian mudah marah-marah atas sesuatu yang menyebalkan. Sebetulnya menurut gue sangat manusiawi jika kita marah atau kesal, namun, akan sangat jauh lebih baik apabila kita menahan kekesalan atau amarah tersebut. Misalnya marah-marah dengan pengendara ugal-ugalan di jalan. Apa yang akan kita dapatkan selain hawa nafsu emosi yang  membuncah? Padahal tidak ada gunanya juga kita marah-marah di tengah jalan raya tersebut. Yang ada hanya bisa memperburuk keadaan dan meningkatkan resiko kecelakaan. Intinya, jangan sampai kita kehilangan nalar kita seperti binatang. Simple-nya sih seperti itu, ya.  


Selanjutnya, yang sering sekali diulang-ulang dan menurut gue merupakan salah satu inti dari Filosofi Teras adalah bahwa terdapat Dikotomi Kendali dalam hidup ini. Maksudnya? Dalam hidup, ada hal-hal yang di bawah kendali kita, ada juga yang di luar kendali kita.


Dokumentasi Pribadi


Some things are up to us, some things are not up to us” – Epictetus (Enchiridion)


Bahwa kita tidak bisa mengendalikan hal-hal yang ada di luar kendali kita. Apa saja hal-hal yang di luar kendali kita? Contohnya adalah tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kesehatan, kekayaan, dll. Sedangkan yang bisa dikendalikan di antaranya adalah pertimbangan, opini, atau persepsi kita, keinginan kita, tujuan kita, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri. Epictetus mengatakan “Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain,”. Stoisisme mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari “things we can control”. Bagi para filsuf stoa, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah tidak irasional.


Epictetus berkata lagi, “Siapapun yang mengingini atau menghindari hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terus terombang-ambing terseret hal-hal tersebut,”.


Dokumentasi Pribadi


Gue setuju banget dengan konsep Dikotomi Kendali tersebut. Dan saat ini gue lagi pengen banget bisa menerapkan prinsip Dikotomi Kendali dalam problematika hidup yang lagi gue alami. Tapi memang karena otak gue ini masih dipenuhi oleh problem tersebut, prinsip ini sangat amat sulit sekali gue terapkan. Setiap hari gue coba agar “yuk, hal itu tuh gaada di dalam kendali lo, jadi gausah diambil pusing”. Tapi, sulit, amat sulit. Tapi gue gak nyerah,  sih. Gue akan terus mencoba nerapin prinsip ini sampai gue gak akan cemas lagi akan suatu hal yang ada di luar kendali gue. Indeed, gue masih belum merdeka.


Dokumentasi Pribadi


Dalam buku ini, terdapat langkah-langkah yang bisa diambil saat kita mulai merasakan emosi negatif (mau mengamuk, sedih, baper, frustasi, putus asa, dll) dapat disingkat menjadi S-T-A-R (Stop, Think & Assess, Respond).


1. STOP. Begitu kita merasakan emosi negatif, kita harus menyadari itu dan berhenti dulu.

2. THINK & ASSESS. Dipikirkan dan dinilai. Setelah menghentikan proses emosi, kita bisa aktif berpikir dan memaksakan diri untuk berpikir secara rasional unruk mengalihkan kita dari kebablasan menuruti emosi. Apakah ini di dalam kendali, atau di luar kendali.

3. RESPOND. Setelah kita menggunakan nalar, emosi sudah turun, barulah kita beri respon berupa ucapan atau tindakan.


Kerangka ini dapat digunakan dalam situasi apapun. Dan setelah gue mencoba ini, rasa-rasanya gue jadi jarang emosi yang berlebihan lagi, dan lebih banyak sabar, lebih mudah mencerna penyebab masalah, sehingga hatipun bawaannya menjadi lebih ringan.


Selain cara untuk mengendalikan emosi negatif, dalam buku ini juga dituliskan bagaimana cara kita melawan lebay, lho.


1. Tidak ada yang baru di dunia ini. Jangan lebay, kalian bukan satu-satunya orang yang paling baru merasakan suatu hal baik ataupun buruk. Marcus Aurelius mengatakan “Selalu ingat bahwa ini semua telah terjadi sebelumnya, dan akan terjadi lagi Plot yang sama dari awal hingga akhir di tata panggung yang sama. Pikirkan hal ini nerdasarkan yang kamu ketahui dari pengalaman atau sejarah,”

2. Perspektif dari atas (View from above). Selalu ingatlah bahwa apabila kalian mendapatkan satu musibah yang membuat terpuruk, lihatlah dari atas, bahwa sesungguhnya banyak sekali orang yang masalah hidupnya jauh lebih rumit dari yang kalian alami.

3. Semua akan terlupakan. “Pada saatnya, kamu akan melupakan segalanya. Dan akan ada saatnya semua orang melupakanmu. Selalu renungkan bahwa akhirnya kamu tidak akan menjadi siapa-siapa, dan lenyap dari bumi,” Marcus Aurelius (Meditations).

Masih banyak sekali materi-materi dalam buku ini yang gak bisa gue tulisin satu-satu. Di antaranya adalah praktek Prameditatio malorum, yaitu melatih diri membayangkan hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kia sehingga kita lebih siap; lalu ada instruct and endure, tugas kita untuk mengajarkan sesama manusia menjadi lebih baik, jika tida bisa, bersabar terhadap mereka; ada amor fati, bagaimana kita mencintai takdir baik atau buruk; bagaimana kita menanggapi omongan jelek dari orang lain; hidup di antara orang menyebalkan; dibahas juga bagaimana menjadi orang tua yang “baik”; hingga bahasan mengenai kematian.


Dokumentasi Pribadi


Dokumentasi Pribadi

Buku Filosofi Teras ini sangat gue rekomendasikan untuk kalian yang mau merubah diri menjadi lebih positif, jauh dari marah-marah, mudah tersinggung, mudah khawatir, baperan, dan hal-hal negatif lainnya. Dari yang gue dapat setelah 2 kali baca buku ini, se-simple kita bisa menerapkan Dikotomi Kendali, kita sudah berhasil merubah diri menjadi lebih baik. Semuanya butuh proses. Apalagi untuk menjadi kaum Stoa, buat gue pribadi masih sangat amat jauh. Karena untuk menerapkan Dikotomi Kendali aja sulit sekali. Apalagi untuk bisa menerapkan seluruh ajaran Stoic. Daripada menyebut diri gue sebagai kaum Stoa, gue lebih menyebut diri gue sendiri sebagai Prokopton (bahasa Yunani)/Progressor yang berarti “sedang berusaha menjadi lebih baik”.


Tiga disiplin yang harus terus menerus dilatih oleh Prokopton adalah:


1. Discipline of Desire. Dispilin keinginan. Kita semua harus mengendalikan keinginan, ambisi, dan nafsu kita. Contohnya dengan mengingini hanya apa yang ada di dalam kendali kita.

2. Discipline of Action. Disiplin tindakan/perilaku bagaimana kita berhubungan dengan orang lain tanpa membedakan suku, agama, ras, warna kulit, dll.

3. Discipline of Assent/Judgment. Menyangkut kemampuan kita mengendalikan opini, interpretasi, dan value judgment.


Henry Manampiring mengatakan dalam buku ini bahwa buku ini hanyalah buku kecil pengantar kita pada ajaran stoisisme. Beliau merekomendasikan buku-buku asli tulisan para filsuf Stoa seperti Meditations karya Marcus Aurelius, Enchiridion dan Discourses karya Epictetus, Letters to A Stoic dan On The Shortness of Life karya Seneca, dll.


Gue punya satu quote facorit dari Marcus Aurelius,


Jadilah seperti tebing di pinggir laut yang terus dihujan ombak, tetapi tetap tegar dan menjinakkan murka air di sekitarnya,

 

Dokumentasi Pribadi


Serta quote yang hit me so hard, dari William Shakespeare,


There is nothing either good or bad, but thinking makes it so.


Oiya, Filosofi Teras baru saja merilis buku edisi terbatas dengan dua cover berbeda yang dapat dipilih. Menurut Henry Manampiring, buku edisi terbatas ini telah direvisi dengan align justify, yang mana buku sebelumnya menggunakan align left yang jujur awalnya bikin gue kurang nyaman, hehehe. Selain itu, di buku filosofi Teras edisi terbatas tersebut juga ditambahkan materi mengenai masa pandemi yang masih relate dengan ajaran-ajaran Stoic.


BigGo.id


Segitu aja Talk About Book Filosofi Teras ini. I am so sorry kalau tulisannya kurang greget, yah. Buat yang penasaran mau baca fullnya bisa langsung cusss ke toko buku offline atau online. I guarantee you this book gonna make your life better.


Dokumentasi Pribadi

Terima kasih buat yang sudah baca. Sehat selalu, bahagia selalu, Cheers^^


 

No comments:

Post a Comment