Dokumentasi Pribadi |
Filosofi Teras. Apa, sih, yang terlintas di pikiran kalian
mendengar kata Filosofi Teras? Kalau gue, jujur, bingung. Teras? Halaman depan
rumah? Ada filosofinya? Gue mikir dalam hati apa makna yang bisa diambil dari
sebuah halaman depan rumah. Apakah tempat keluarga berkumpul sehingga teras
jadi penuh cerita, ataukah karena teras
ada di bagain paling depan rumah, sehingga menjadi batas antara bagian
luar dan dalam? Semuanya gak masuk
akal. Hahaha. Sebelum membaca buku
ini, yang gue pahami hanyalah bahwa buku ini membahas Filsafat Yunani-Romawi kuno
untuk mental tangguh masa kini. Itupun gue tahu karena ada di cover bukunya. Hehehe. Gue belum pernah sama sekali baca buku tentang filsafat,
kecuali Filsafat Ilmu Komunikasi yang jadi salah satu mata kuliah di kampus. Nah, dari sini gue mulai tertarik. Para book-ish juga merekomendasikan buku ini
yang katanya sangat bagus untuk dibaca. Karena gue butuh asupan untuk membangun
mental menjadi lebih tangguh, maka akhirnya gue beli buku Filosofi Teras ini.
Sekarang kita bahas makna dari Filosofi
Teras. Kenapa Teras? Dahulu, seorang pedagang kaya bernama Zeno harus mengalami
bencana kapal karam ketika ia hendak mengantar dagangannya ke para pembeli. Sejak
bencana tersebut, ia tidak punya apa-apa lagi, semua harta bendanya hilang, dan
harus terdampar di Athena. Ketika di Athena,
ia pergi ke toko
buku dan menemukan buku filsafat.
Singkat cerita akhirnya Zeno mempelajari filsafat aliran Cynic dengan Crates. Kemudian,
Zenopun mulai mengajari filosofiinya sendiri. Ia biasanya mengajar di sebuah
teras berpilar yang disebut Stoa. Semacam
alun-alun Yunani kuno di kota Athena. Dari situlah, kata teras dipakai oleh
penulis agar lebih mudah diterima oleh masyarakat awam yang susah menyebutkan Stoisisme.
Dan akhirnya, gue bisa tidur nyenyak
setelah mengetahui makna dari Filosofi Teras ini.
Dokumentasi Pribadi |
Buat gue yang masih awam dengan filsafat,
buku ini lumayan berat namun mudah dimengerti. Selain itu, gue pribadi harus
mengulang dua kali membaca buku ini agar pesan yang disampaikan oleh penulis
benar-benar masuk ke otak dan pikiran gue. Karena kalau boleh jujur, Stoisisme
ini sangat amat susah dipraktekkan buat gue yang orangnya memang mudah cemas
dan panik akan suatu hal yang gue pikir akan mengancam kebahagiaan gue.
Pelajaran pertama dari Filosofi
Teras ini adalah bahwa kita harus hidup selaras dengan alam. Alam apa? Mbah Dukun?
Bukan, dong. Jadi maksudnya adalah
bahwa kita harus sebaik-baiknya menggunakan nalar, akal sehat, dan rasio, karena
itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Contoh mudah dalam kehidupan
sehari-harinya adalah kalau kalian mudah marah-marah atas sesuatu yang menyebalkan.
Sebetulnya menurut gue sangat manusiawi jika kita marah atau kesal, namun, akan
sangat jauh lebih baik apabila kita menahan kekesalan atau amarah tersebut.
Misalnya marah-marah dengan pengendara ugal-ugalan di jalan. Apa yang akan kita
dapatkan selain hawa nafsu emosi yang
membuncah? Padahal tidak ada gunanya juga kita marah-marah di tengah
jalan raya tersebut. Yang ada hanya bisa memperburuk keadaan dan meningkatkan
resiko kecelakaan. Intinya, jangan sampai kita kehilangan nalar kita seperti
binatang. Simple-nya sih seperti itu,
ya.
Selanjutnya, yang sering sekali
diulang-ulang dan menurut gue merupakan salah satu inti dari Filosofi Teras
adalah bahwa terdapat Dikotomi Kendali dalam hidup ini. Maksudnya? Dalam hidup,
ada hal-hal yang di bawah kendali kita, ada juga yang di luar kendali kita.
Dokumentasi Pribadi |
“Some
things are up to us, some things are not up to us” – Epictetus (Enchiridion)
Bahwa kita tidak bisa mengendalikan hal-hal
yang ada di luar kendali kita. Apa saja hal-hal yang di luar kendali kita?
Contohnya adalah tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kesehatan,
kekayaan, dll. Sedangkan yang bisa dikendalikan di antaranya adalah
pertimbangan, opini, atau persepsi kita, keinginan kita, tujuan kita, dan
segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri. Epictetus
mengatakan “Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak
terikat, tidak terhambat; tetapi hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat
lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain,”. Stoisisme mengajarkan kita
bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari “things we can control”. Bagi para filsuf stoa, menggantungkan
kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah tidak irasional.
Epictetus berkata lagi, “Siapapun
yang mengingini atau menghindari hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak
pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi
akan terus terombang-ambing terseret hal-hal tersebut,”.
Dokumentasi Pribadi |
Gue setuju banget dengan konsep Dikotomi Kendali tersebut. Dan saat ini gue
lagi pengen banget bisa menerapkan
prinsip Dikotomi Kendali dalam problematika hidup yang lagi gue alami. Tapi memang
karena otak gue ini masih dipenuhi oleh problem
tersebut, prinsip ini sangat amat sulit sekali gue terapkan. Setiap hari gue
coba agar “yuk, hal itu tuh gaada di dalam kendali lo, jadi gausah
diambil pusing”. Tapi, sulit, amat sulit. Tapi gue gak nyerah, sih. Gue akan terus mencoba nerapin prinsip ini sampai gue gak akan cemas lagi akan suatu hal yang
ada di luar kendali gue. Indeed, gue
masih belum merdeka.
Dokumentasi Pribadi |
Dalam buku ini, terdapat
langkah-langkah yang bisa diambil saat kita mulai merasakan emosi negatif (mau
mengamuk, sedih, baper, frustasi, putus asa, dll) dapat disingkat menjadi
S-T-A-R (Stop, Think & Assess,
Respond).
1. STOP. Begitu kita merasakan emosi negatif, kita harus menyadari itu
dan berhenti dulu.
2. THINK & ASSESS. Dipikirkan dan dinilai. Setelah menghentikan
proses emosi, kita bisa aktif berpikir dan memaksakan diri untuk berpikir
secara rasional unruk mengalihkan kita dari kebablasan menuruti emosi. Apakah ini
di dalam kendali, atau di luar kendali.
3. RESPOND. Setelah kita menggunakan nalar, emosi sudah turun, barulah
kita beri respon berupa ucapan atau tindakan.
Kerangka ini dapat digunakan dalam
situasi apapun. Dan setelah gue mencoba ini, rasa-rasanya gue jadi jarang emosi
yang berlebihan lagi, dan lebih banyak sabar, lebih mudah mencerna penyebab
masalah, sehingga hatipun bawaannya menjadi lebih ringan.
Selain cara untuk mengendalikan
emosi negatif, dalam buku ini juga dituliskan bagaimana cara kita melawan
lebay, lho.
1. Tidak ada yang baru di dunia ini. Jangan lebay, kalian bukan
satu-satunya orang yang paling baru merasakan suatu hal baik ataupun buruk.
Marcus Aurelius mengatakan “Selalu ingat bahwa ini semua telah terjadi sebelumnya,
dan akan terjadi lagi Plot yang sama dari awal hingga akhir di tata panggung
yang sama. Pikirkan hal ini nerdasarkan yang kamu ketahui dari pengalaman atau
sejarah,”
2. Perspektif dari atas (View from
above). Selalu ingatlah bahwa apabila kalian mendapatkan satu musibah
yang membuat terpuruk, lihatlah dari atas, bahwa sesungguhnya banyak sekali
orang yang masalah hidupnya jauh lebih rumit dari yang kalian alami.
3. Semua akan terlupakan. “Pada saatnya, kamu akan melupakan
segalanya. Dan akan ada saatnya semua orang melupakanmu. Selalu renungkan bahwa
akhirnya kamu tidak akan menjadi siapa-siapa, dan lenyap dari bumi,” Marcus
Aurelius (Meditations).
Masih banyak sekali materi-materi
dalam buku ini yang gak bisa gue
tulisin satu-satu. Di antaranya adalah praktek Prameditatio malorum, yaitu melatih diri membayangkan hal-hal buruk
yang terjadi dalam hidup kia sehingga kita lebih siap; lalu ada instruct and endure, tugas kita untuk
mengajarkan sesama manusia menjadi lebih baik, jika tida bisa, bersabar terhadap
mereka; ada amor fati, bagaimana kita
mencintai takdir baik atau buruk; bagaimana kita menanggapi omongan jelek dari
orang lain; hidup di antara orang menyebalkan; dibahas juga bagaimana menjadi
orang tua yang “baik”; hingga bahasan mengenai kematian.
Dokumentasi Pribadi |
Dokumentasi Pribadi |
Buku Filosofi Teras ini sangat gue
rekomendasikan untuk kalian yang mau merubah diri menjadi lebih positif, jauh
dari marah-marah, mudah tersinggung, mudah khawatir, baperan, dan hal-hal
negatif lainnya. Dari yang gue dapat setelah 2 kali baca buku ini, se-simple kita bisa menerapkan Dikotomi
Kendali, kita sudah berhasil merubah diri menjadi lebih baik. Semuanya butuh
proses. Apalagi untuk menjadi kaum Stoa,
buat gue pribadi masih sangat amat jauh. Karena untuk menerapkan Dikotomi
Kendali aja sulit sekali. Apalagi untuk bisa menerapkan seluruh ajaran Stoic. Daripada
menyebut diri gue sebagai kaum Stoa,
gue lebih menyebut diri gue sendiri sebagai Prokopton
(bahasa Yunani)/Progressor yang
berarti “sedang berusaha menjadi lebih baik”.
Tiga disiplin yang harus terus
menerus dilatih oleh Prokopton
adalah:
1. Discipline of Desire. Dispilin
keinginan. Kita semua harus mengendalikan keinginan, ambisi, dan nafsu kita. Contohnya
dengan mengingini hanya apa yang ada di dalam kendali kita.
2. Discipline of Action. Disiplin
tindakan/perilaku bagaimana kita berhubungan dengan orang lain tanpa membedakan
suku, agama, ras, warna kulit, dll.
3. Discipline of Assent/Judgment. Menyangkut kemampuan kita mengendalikan
opini, interpretasi, dan value judgment.
Henry Manampiring mengatakan dalam
buku ini bahwa buku ini hanyalah buku kecil pengantar kita pada ajaran
stoisisme. Beliau merekomendasikan buku-buku asli tulisan para filsuf Stoa
seperti Meditations karya Marcus
Aurelius, Enchiridion dan Discourses karya Epictetus, Letters to A Stoic dan On The Shortness of Life karya Seneca,
dll.
Gue punya satu quote facorit dari Marcus Aurelius,
Jadilah seperti tebing di pinggir laut yang terus dihujan ombak, tetapi tetap tegar dan menjinakkan murka air di sekitarnya,
Dokumentasi Pribadi |
Serta quote yang hit me so hard,
dari William Shakespeare,
There is nothing either good or bad, but thinking makes it so.
Oiya, Filosofi Teras baru saja
merilis buku edisi terbatas dengan dua cover
berbeda yang dapat dipilih. Menurut Henry Manampiring, buku edisi terbatas ini
telah direvisi dengan align justify,
yang mana buku sebelumnya menggunakan align
left yang jujur awalnya bikin gue kurang nyaman, hehehe. Selain itu, di buku filosofi Teras edisi terbatas tersebut juga
ditambahkan materi mengenai masa pandemi yang masih relate dengan ajaran-ajaran
Stoic.
BigGo.id |
Segitu aja Talk About Book Filosofi
Teras ini. I am so sorry kalau tulisannya kurang greget, yah. Buat yang penasaran mau baca fullnya bisa langsung cusss
ke toko buku offline atau online. I guarantee you this book gonna make your life better.
Dokumentasi Pribadi |
Terima kasih buat yang sudah baca. Sehat
selalu, bahagia selalu, Cheers^^
No comments:
Post a Comment